Thursday, April 28, 2016

Apakah Tanda Hitam di Dahi Merupakan Tanda Niat yang Tidak Ikhlash ?


Jawab :
Sebaik-baik perkataan adalah yang pertengahan.
1.      Adalah perkataan yang salah jika ada orang yang mengatakan bahwa tanda hitam di dahi merupakan ciri-ciri pasti orang yang shaalih. Tidak ada satu pun riwayat shahih yang menyatakan demikian – sepengetahuan saya - , baik dari kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum, para ulama, apalagi dari Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, orang-orang Khawaarij - yang notabene termasuk katagori golongan sesat – pun mempunyai tanda ini.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، ثنا عَفَّانُ، ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ، عَنْ بِلالِ بْنِ بُقْطُرٍ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِدَنَانِيرَ، فَقَسَمَهَا، فَكُلَّمَا قَبَضَ قَبْضَةً نَظَرَ عَنْ يَمِينِهِ كَأَنَّهُ يُؤَامِرُ أَحَدًا، وَقَالَ حَمَّادٌ: وَعِنْدَهُ رَجُلٌ أَسْوَدُ مَطْمُومُ الشَّعْرِ، عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَبْيَضَانِ، بَيْنَ عَيْنَيْهِ أَثَرُ السُّجُودِ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، مَا عَدَلْتَ مُنْذُ الْيَوْمِ فِي الْقِسْمَةِ، قَالَ: فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: " مَنْ يَعْدِلُ عَلَيْكُمْ بَعْدِي؟ "، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلا نَقْتُلُهُ؟ قَالَ: " لا، إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، لا يَتَعَلَّقُونَ مِنَ الإِسْلامِ بِشَيْءٍ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Bilaal bin Yuqthur, dari Abu Bakrah : Bahwasannya didatangkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sejumlah uang dinar, lalu beliau membagi-bagikannya. Setiap orang segenggam-segenggam. Lalu beliau melihat ke samping kanannya seakan-akan hendak menyuruh seseorang. - Hammad berkata - : Di samping beliau ada seorang laki-laki berkulit hitam, berambut lebat, memakai dua pakaian putih, dan di antara kedua matanya terdapat tanda bekas sujud. Lalu ia berkata : “Wahai Muhammad, engkau tidak adil sejak hari ini dalam pembagian”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam marah dan bersabda : “Lantas, siapakah yang akan berbuat adil kepada kalian sepeninggalku nanti ?”. Para shahabat berkata : “Wahai Rasulullah, tidakkah kami bunuh saja ia ?”. Beliau menjawab : “Jangan. Sesungguhnya orang ini dan teman-temannya kelak akan keluar dari dien (agama Islam) seperti keluarnya anak panah dari busurnya, mereka tidak termasuk dari golongan Islam sama sekali” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘aashim dalam As-Sunnah no. 927; shahih lighairihi].
Allah ta’ala tidaklah menjadikan ciri fisik seseorang sebagai satu kemutlakan tanda bagi keimanan, karena Allah hanya akan melihat kepada keikhlashan dan keshalihan amal. Allah ta’ala berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” [QS. Al-Bayyinah : 5].
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya" [QS. Al-Kahfiy : 110].
حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ، حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ، وَأَعْمَالِكُمْ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Naaqid : Telah menceritakan kepada kami Katsiir bin Hisyaam : Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Burqaan, dari Yaziid bin Al-Asham, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah tidaklah melihat pada rupa-rupa dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2564].
Bahkan, telah diriwayat dari sebagian salaf yang membenci keberadaan tanda/bekas hitam di dahi.
حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كُنْتُ قَاعِدًا عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ فَرَأَى رَجُلًا قَدْ أَثَّرَ السُّجُودُ فِي وَجْهِهِ، فَقَالَ: " إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ فَلَا يَشِينُ أَحَدُكُمْ صُورَتَهُ "
Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, dari Asy’ats bin Abisy-Sya’tsaa’, dari ayahnya, ia berkata : Aku pernah berdiri di samping Ibnu ‘Umar, lalu ia melihat seorang laki-laki yang mempunyai tanda bekas sujud di wajahnya. Ibnu ‘Umar berkata : “Sesungguhnya rupa seorang laki-laki itu ada di wajahnya. Maka, janganlah salah seorang di antara kalian memburukkan rupanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/308; shahih].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ ثَوْرٍ، عَنْ أَبِي عَوْنٍ الْأَعْوَرِ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ أَنَّهُ رَأَى امْرَأَةً بَيْنَ عَيْنَيْهَا مثل ثَفِنَةِ الشَّاةِ، فَقَالَ: " أَمَا إِنَّ هَذَا لَوْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَ عَيْنَيْكَ كَانَ خَيْرًا لَكَ
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Tsaur, dari Abu ‘Aun Al-A’war, dari Abud-Dardaa’, bahwasannya ia pernah melihat seorang wanita yang di antara dua matanya ada tanda seperti tsafinatusy-syaah (kulit keras yang ada di lutut kambing = ‘kapalan’). Maka ia berkata : “Sesungguhnya tanda ini, jika tidak ada di antara dua matamu, niscaya lebih baik bagimu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/308; lemah karena Abu 'Aun seorang perawi yang maqbuul, dan ada kekhawatiran keterputusan (inqitha’) antara Abu ‘Aun (thabaqah kelima) dengan Abud-Dardaa’ (thabaqah pertama)].
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: " لَيْسَ بِهَذَا الأَثَرِ الَّذِي فِي الْوَجْهِ، وَلَكِنَّهَا الْخُشُوعُ "
Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Manshuur, dari Mujaahid, ia berkata : “Bukanlah dengan tanda yang ada di wajah ini (yang dimaksudkan dalam ayat‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’), akan tetapi ia adalah kekhusyukan” [Az-Zuhd oleh Wakii’ bin Al-Jarraah no. 137; shahih].
2.      Begitu juga sikap yang salah jika kita mengedepankan su’udhdhan, bahkan sampai terlontar kata-kata, bahwa orang yang mempunyai bekas/tanda hitam di dahinya merupakan orang yang tidak ikhlash dalam beramal.
Apakah ada nash dari Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahih bahwasannya tanda hitam di dahi merupakan tanda kemunafikan lagi ketidakikhlashan ?. Apakah ada malaikat yang membisiki yang memberitahukannya bahwa orang itu tidak ikhlash dalam beramal, sementara keikhlashan itu merupakan amal hati ?.
Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa” [QS. Al-Hujuraat : 12].
Bahkan ada riwayat shahih dari ‘Ikrimah bahwa ia menafsirkan ayat :  ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ (QS. Al-Fath : 29) adalah dhahir tanda yang melekat di wajah/dahi.
حَدَّثَنَا ابْنُ مَرْزُوقٍ، حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ إسْمَاعِيلَ الْخَزَّازُ، عَنِ ابْنِ الْمُبَارَكِ، عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: سَمِعْتُ عِكْرِمَةَ، وَسُئِلَ " سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ، قَالَ: أَثَرُ التُّرَابِ "
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Marzuuq : Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ismaa’iil Al-Khazzaaz, dari Ibnul-Mubaarak, dari Maalik bin Diinaar, ia berkata : Aku pernah mendengar ‘Ikrimah ditanya tentang ayat : ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’, maka dia menjawab : ‘Bekas tanah/debu (yang ada di dahi)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Musykilul-Aatsaar no. 305; shahih].
Maksudnya, orang yang banyak melakukan shalat, maka akan ada di dahinya bekas tanah dari tempat ia sujud. Dan sebagian salaf kita mempunyai tanda tersebut.
فَحَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ، قال: حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو، قَالَ: " رَأَيْتُ فِي جَبْهَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ أَثَرَ السُّجُودِ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam bin Naafi’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Shafwaan bin ‘Amru, ia berkata : “Aku pernah melihat dahi ‘Abdullah bin Busr ada tanda/bekas sujud” [Diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam At-Taariikh no. 178; shahih].
‘Abdullah bin Busr adalah salah seorang shahabat kecil (shighaarush-shahaabah).
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ مَالِكٍ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ. ح وَحَدَّثَنَا أَبُو حَامِدِ بْنُ جَبَلَةَ، وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، ثنا الْوَلِيدُ بْنُ شُجَاعٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، ثنا الْعَلاءُ بْنُ عَبْدِ الْكَرِيمِ الأَيَامِيُّ، قَالَ: " كُنَّا نَأْتِي مُرَّةَ الْهَمْدَانِيَّ، فَيَخْرُجُ إِلَيْنَا، فَنَرَى أَثَرَ السُّجُودِ فِي جَبْهَتِهِ وَكَفَّيْهِ وَرُكْبَتَيْهِ وَقَدَمَيْهِ......
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Maalik : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Haamid bin Habalah, dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ishaaq : telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Syujaa’ : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Al-‘Alaa’ bin ‘Abdil-Kariim Al-Ayaamiy, ia berkata : “Kami pernah mendatangi Murrah Al-Hamdaaniy, lalu ia pun keluar menemui kami. Kami melihat bekas sujud di dahinya, kedua telapak tangannya, kedua lututnya, dan kedua kakinya….” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 4/162; shahih].
Murrah bin Syaraahiil Al-Hamdaaniy, seorang ulama dari kalangan kibaarut-taabi’iin.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدٍ، قَالَ: أخبرنا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا بِلالُ بْنُ أَبِي مُسْلِمٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ أَبَانَ بْنَ عُثْمَانَ بَيْنَ عَيْنَيْهِ أَثَرُ السُّجُودِ قَلِيلا "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa’d, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’n bin ‘Iisaa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Bilaal bin Muslim, ia berkata : “Aku melihat Abaan ‘Utsmaan, di antara kedua matanya terdapat sedikit bekas sujud” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalamAl-Kubraa, 5/78; namun sanadnya dla’iif karena Bilaal bin Abi Muslim, seorang yangmajhuul].
قَالَ أَبُو الْيَمَانِ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: " رَأَيْتُ فِيَ جَبْهَةِ حَكِيمِ بْنِ عُمَيْرٍ أَثَرَ السُّجُودِ "
Telah berkata Abul-Yamaan, dari Shafwaan bin ‘Amru ia berkata : “Aku melihat di dahi Hakiim bin ‘Umair ada bekas/tanda sujud” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalamAl-Kubraa, 7/212; shahih].
Al-Hakiim bin ‘Umair Al-Ahwash Al-‘Ansiy adalah seorang ulama generasi taabi’iinpertengahan.
قَالَ أَبُو الْيَمَانِ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: " رَأَيْتُ فِيَ جَبْهَةِ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ أَثَرَ السُّجُودِ "
Telah berkata Abul-Yamaan, dari Shafwaan bin ‘Amru, ia berkata : “Aku melihat di dahi Khaalid bin Ma’daan terdapat bekas/tanda sujud” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Al-Kubraa, 7/214; shahih].
Khaalid bin Ma’daan Asy-Syaamiy Al-Himshiy, seorang ulama ahli ibadah dari generasi taabi’iin pertengahan.
Dan yang lainnya…..
Ikhwah,…. dapat kita lihat perbedaan di kalangan salaf dalam hal ini. Di antara mereka ada yang membencinya, di antara mereka ada pula yang membolehkannya. Oleh karena itu, Al-Imaam Ibnu Abi Syaibah membuat dua bab dalam Al-Mushannaf yang memuat ulama-ulama yang membenci dan membolehkannya [see : 1/308]. Tentu saja, ulama kita yang membolehkan harus dipahami bahwa tanda sujud tersebut merupakan satu hal yang kadang ‘tidak bisa dihindari’ bagi mereka yang giat dalam ibadah shahalatnya. Dan itu tercermin dari riwayat-riwayat sebagaimana di atas. Selain terkait banyaknya aktifitas shalat, tanda/bekas ini juga terkait sensitifitas kulit masing-masing orang. Orang yang sedikit shalat, kadang muncul tandanya hitam itu karena kulitnya tipis, dan sebaliknya kadang orang yang banyak shalat dan sujudnya lama tidak muncul tanda hitam ini karena keadaan kulitnya berbeda.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya : Apakah tanda bekas sujud di dahi merupakan tanpa bagi orang yang shaalih ?, maka beliau menjawab :
ليس هذا من علامات الصالحين ، وإنما هو النور الذي يكون في الوجه ، وانشراح الصدر ، وحسن الخلق . . . وما أشبه ذلك ، أما الأثر الذي يسببه السجود في الوجه فقد تظهر في وجوه من لا يصلون إلا الفرائض لرقة الجلد ، وقد لا تظهر في وجه من يصلي كثيراً ويطيل السجود .
“Ini bukan (mutlak) tanda-tanda orang yang shaalih. Hanya saja ini yang dimaksud adalah cahaya yang nampak pada wajah, lapang dada, dan akhlak yang baik….dan yang semisal dengannya….. Adapun bekas tanda akibat sujud pada wajah maka bisa juga tampak pada orang tidak sholat kecuali sholat wajib saja. Karena jenis kulit yang tipis. Dan terkadang juga tidak muncul pada orang yang banyak sholat serta sujudnya lama….” [dikutip dari : http://salafyitb.wordpress.com/2007/01/11/simahum-fii-wujuhihim-min-atsaris-sujud/].
Namun apapun itu, lebih utama bagi kita mengedepankan sikap husnudhdhan kepada saudara-saudara kita yang muslim. Jika kita melihat mereka yang mempunyai tanda/bekas hitam di dahi, kita positif thinking bahwa itu muncul karena ia rajin beribadah kepada Allah ta’ala, sehingga dapat memicu kita untuk menirunya, berlomba-lomba dalam kebaikan. Kita berdoa agar Allah ta’ala memperbanyak orang seperti dia, dan berharap agar amalnya (dan juga amal kita) diterima.
Dan bagi pribadi, kita tidak perlu effort untuk mengada-adakan tanda/bekas sujud itu di dahi kita. Hendaknya kita ingat akan hadits tentang tiga jenis orang yang pertama kali dihisab di hari kiamat yang didustakan oleh Allah atas sanjungan manusia akan amal ibadah palsu mereka di dunia. Riya’ tidak akan membuahkan apa-apa kecuali kerugian dan penyesalan.
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” [QS. Al-Furqaan : 23].
Hati ini sangat lemah sehingga keikhlashan seringkali tercampuri, bahkan akhirnya tertutupi, dengan riya’.
اللَّهُمَّ إناَّ نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ, وَ نَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُه
“Ya, Allah! Sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami memohon ampunan kepada-Mu dari dosa (syirik) yang kami tidak mengetahuinya.”.
Itu saja yang dapat dijawab.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.

Tuesday, April 26, 2016

SINOPSIS NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK karya HAMKA ( Haji Abdul Muhammad Kharim Amrullah) Tahun 1939



Di Negeri Batipuh Sapuluh Koto (Padang panjang) , seorang pemuda bergelar Pendekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, yang merupakan pewaris tunggal harta peninggalan ibunya. Karena tak bersaudara perempuan, maka harta bendanya diurus oleh  mamaknya. Datuk Mantari labih hanya bisa menghabiskan harta tersebut, sedangkan untuk kemenakannya tak boleh menggunakannya. Hingga suatu hari, ketika Pendekar Sutan ingin menikah namun tak diizinkan menggunakan hartany atersebut, terjadilah pertengkaran yang membuat Datuk Mantari labih terbunuh. Pendekar Sutan ditangkap, saat itu ia baru berusia 15 tahun. Ia dibuang ke Cilacap, kemudian dibawa ke Tanah Bugis. Karena Perang Bone, akhirnya ia sampai di Tanah Mengkasar. Beberapa tahun berjalan, Pendekar Sutan bebas dan menikah dengan Daeng Habibah, putri seorang penyebar agama islam keturunan Melayu. Empat tahun kemudian, lahirlah Zainuddin.

Saat Zainuddin masih kecil, ibunya meninggal. Beberapa bulan kemudian ayahnya menyusul ibunya. Ia diasuh Mak Base, teman ayahnya. Pada suatu hari, Zainuddin meminta izin Mak Base untuk pergi ke Batipuh, sumbar, mencari sanak keluarganya di negeri asli ayahnya. Dengan berat hati, Mak Base melepas Zainuddin pergi.

Sampai di Padang, Zainuddin langsung menuju Negeri Batipuh. Sesampai di sana, ia begitu gembira, namun lama-lama kabahagiaannya itu hilang karena semuanya ternyata tak seperti yang ia harpakan. Ia masih dianggap orang asing, dianggap orang Bugis, orang Mengkasar. Betapa malang dirinya, karena di negeri ibunya ia juga dianggap orang asing, sementara di Makassar dia juga dianggap orang asing karena kuatnya adat istiadat pada saat itu. Ia pun jenuh hidup di batipuh, dan saat itulah ia bertemu Hayati, seorang gadis Minang yang membuat hatinya gelisah, menjadikannya alasan untuk tetap hidup di sana. Berawal dari surat-menyurat, mereka pun menjadi semakin dekat dan kahirnya saling cinta.

Kabar kedekatan mereka tersiar luas dan menjadi bahan gunjingan semua warga. Karena keluarga Hayati merupakan keturunan terpandang, maka hal itu menjadi aib bagi keluargany, adat istiadat mengatakan Zainuddin bukanlah orang Minangkabau, Ibunya berasal dari Makassar. Zainuddin dipanggil oleh mamak Hayati, dengan alasan demi kemaslahatan Hayati, mamak Hayati menyuruh Zainuddin pergi meninggalkan Batipuh.
Zainuddin pindah ke Padang Panjang (berjarak sekitar 10 km dari batipuh) dengan berat hati. Hayati dan Zainuddin berjanji untuk saling setia dan terus berkiriman surat. Suatu hari, Hayati datang ke Padang Panjang untuk melihat acara pacuan kuda. Ia menginap di rumah temannya bernama Khadijah. Satu peluang untuk melepas rasa rindu pun terbayang di benak Hayati dan Zainuddin. Namun hal itu terhalang oleh adanya pihak ketiga, yaitu Aziz, kakak Khadijah yang juga tertarik oleh kecantikan Hayati. Karena berada dalam satu kota (Padang Panjang) akhirnya Zainuddin dan Aziz bersaing dalam mendapatkan cinta Hayati.

Mak Base meninggal, dan mewariskan banyak harta kepada Zainuddin. Karena itu ia akhirnya mengirim surat lamaran kepada Hayati di Batipuh.Temyata surat Zainuddin bersamaan dengan lamaran Aziz. Zainuddin tanpa menyebutkan harta kekayaan yang dimilikinya, akhirnya ditolak oleh ninik mamak Hayati dan menerima pinangan Aziz yang di mata mereka lebih beradab, dan asli Minangkabau, dan Hayatipun akhirnya memilih Aziz sebaagai suaminya. Zainuddin tak kuasa menerima penolakan tersebut. Apalagi kata sahabatnya, Muluk, Aziz adalah seorang yang bejat moralnya. Namun apalah dayanya di hadapan ninik mamaknya. Setelah penolakan dari Hayati, Zainuddin jatuh sakit selama dua bulan.

Atas bantuan dan nasehat Muluk, Zainuddin dapat merubah pikirannya. Bersama Muluk, Zainuddin pergi ke Jakarta. Di sana Zainuddin mulai menunjukkan kepandaiannya menulis. Dengan nama samaran "Z", Zainuddin kemudian berhasil menjadi pengarang yang amat disukai pembacanya. la mendirikan perkumpulan tonil "Andalas", dan kehidupannya telah berubah menjadi orang terpandang karena pekerjaannya. Zainuddin melanjutkan usahanya di Surabaya dengan mendirikan penerbitan buku-buku.

Karena pekeriaan Aziz dipindahkan ke Surabaya, Hajati pun mengikuti suaminya. Suatu kali, Hayati mendapat sebuah undangan dari perkumpulan sandiwara yang dipimpin dan disutradarai oleh Tuan Shabir atau "Z". Karena ajakan Hyati Aziz bersedia menonton pertunjukkan itu. Di akhir pertunjukan baru mereka ketahui bahwa Tuan Shabir atau "Z"adalah Zainuddin. Hubungan mereka tetap baik, juga hubungan Zainuddin dengan Aziz.

Semenjak mereka Hijrah ke Surabaya semakin lama watak asli Aziz semakin terlihat juga. Ia suka berjudi dan main perempuan. Kehidupan perekonomian mereka makin memprihatinkan dan terlilit banyak hutang. Mereka diusir dari kontrakan, dan mereka terpaksa menumpang di rumah Zainuddin. Di balik kebaikan Zainuddin itu, sebenarnya dia masih sakit hati kepada Hayati yang dulu dianggapnya pernah ingkar janji. Karena tak kuasa menanggung malu atas kebaikan Zainuddin, setelah sebulan tinggal serumah, Aziz pergi ke Banyuwangi mencari pekerjaan dan meninggalkan isterinya bersama Zainuddin. Sepeninggal Aziz, Zainuddin sendiri pun jarang pulang, kecuali untuk tidur.

Beberapa hari kemudian, diperoleh kabar bahwa Aziz telah menceraikan Hayati. Melalui surat Aziz meminta supaya Hayati hidup bersama Zainuddin. Dan kemudian datang pula berita dari sebuah surat kabar bahwa Aziz telah bunuh diri meminum obat tidur di sebuah hotel di Banyuwangi. Hayati juga meminta maaf kepada Zainuddin dan rela mengabdi kepadanya. Namun karena masih merasa sakit hati, Zainuddin menyuruh Hayati pulang ke kampung halamannya saja. Esok harinya, Hayati pulang dengan menumpang Kapal Van Der Wijck.
Setelah Hayati pergi, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia tak bisa hidup tanpa Hayati. Apalagi setelah membaca surat Hayati yang bertulis “aku cinta engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam mengenang engkau.” Oleh sebab itulah setelah keberangkatan Hajati ia berniat menyusul Hajati untuk dijadikan isterinya. Zainuddin kemudian menyusul naik kereta api malam ke Jakarta.

Harapan Zainuddin temyata tak tercapai. Kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hajati tenggelam di perairan dekat Tuban. Hajati tak dapat diselamatkan.

Di sebuah rumah sakit di daerah Lamongan, Zainuddin menemukan Hayati yang terbarng lemah sambil memegangi foto Zainuddin. Dan hari itu adalah pertemuan terakhir mereka, karena setelah Hayati berpesan kepada Zainuddin, Hayati meninggal dalam dekapan Zainuddin. Sejak saat itu, Zainuddin menjadi pemenung. Dan tanpa disadari siapapun ia meninggal dunia. Kata Muluk, Zainuddin meninggal karena sakit. Ia dikubur bersebaelahan dengan pusara Hayati.